Pakaian secara universal adalah pelindung tubuh. Baik pelindung dari terik maupun dari dingin yang mencekam. Karenanya secara umum dapat dikatakan fungsinnya sebagai pengaman jasmaniah. Namun pada pakaian adat tradisional disamping fungsi umum seperti tersebut diatas, terdapat pula fungsi-fungsi menurut pesan-pesan nilai budaya yang terkandung di dalamnya, yang berkaitan pula dengan aspek-aspek lain dari kehidupan berkebudayaan.
Pemahaman nilai budaya yang dipesankan itu biasanya lahir melalui simbol-simbol dari berbagai ragam hias pakaian adat tradisional dari suatu masyarakat. Misalnya saja masyarakat suku Tolaki yang telah terhimpun dalam masyarakat kerajaan konawe dan mekongga, sudah tentu pakaian adat tradisional sejak saat itu mengandung fungsi religius di samping fungsi-fungsi lainnya. Bahkan secara keseluruhan masyarakat sulawesi tenggara menerima pengaruh dari berbagai kebudayaan luar. Baik dari luar daerah maupun dari luar negeri. Dari arti simbolik yang dikandung oleh pakaian adat tradisional sekaligus mengungkapkan bahwa warna, bentuk dan letak serta cara pemakaian pakaian adat itu mengandung fungsi-fungsi etika, estetika, religius, sosial dan simbolis.
Pada umumnya pakaian adat tradisional itu tidak saja berfungsi tunggal bahkan biasanya berfungsi jamak. Terutama pada pakaian adat upacara, terkandung berbagai fungsi praktis sekalipun. Fungsi praktis akhir-akhir ini semakin menonjol dikalangan masyarakat, mungkin akibat modernisasi disegala bidang kehidupan masyarakat. Walaupun demikian fungsi-fungsi lainnya tidak berarti akan segera punah, bahkan dari kenyataan yang ada dikemukakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi etik
Pakaian adat mempunyai ketentuan-ketentuan pemakaiannya. Misalnya macam pakaian yang boleh dipakai oleh para pejabat, bukan pejabat, yang bangsawan dan rakyat biasa. Pemakaian pakaian adat merupakan salah kode etik, adalah tidak sopan seseorang bilamana memakai pakaian adat yang bukan atau tidak sesuai dengan bentuk atau warna yang boleh dipakainya. Demikian pula mengenakan tidak sesuai ketentuan. Misalnya memiringkan songkok, menyelempangkan sarung dan menghadapkan hulu keris ke perut sendiri, atau berpakaian adat dengan kepala terbuka. Pemakaian pakaian adat sesuai tatakrama penggunaannya dipandang baik dan sopan.
Pada orang Tolaki berpakaian adat dirumah walaupun sederhana asalkan bersih dan menutup aurat menunjukan fungsi etik. Apalagi bersepatu atau beralas kaki di dalam rumah adalah dianggap tidak sopan. Baju wanita orang Tolaki yang disebut Babu mbineboto (tidak terbelah) dengan lengan panjang menunjukan fungsi etik. Ada pula pandangan seseorang pri tidak memakai tutup kepala dianggap kafir. Jadi pada dasarnya pakaian adat tradisional mengandung fungsi etik.
2. Fungsi estetik
Keindahan pakaian adat, baik oleh bentuknya maupun warna dan hiasan-hiasannya sangat menjadi perhatian sejak dahulu. Ditambah dengan pemakai alat perhiasan yang beraneka bentuk dan warna adalah untuk menciptakan keindahan yang sedap dipandang mata. Apalagi dengan perhiasan terbuat dari emas dan perak bagi kaum wanita atau kopiah berhias bagi kaum pria, salah satu fungsi utamanya untuk menambah rasa keindahan baik oleh pemakai maupun yang memandangnya. Demikian halnya dengan penggunaan ikat pinggang dari logam dikalangan wanita remaja, lebih menonjolkan fungsi estetik dari fungsi lainnya.
3. Fungsi religius
Konseptor pembuat pakaian pada abad ke-17 adalah bertolak dari konsep keagamaan. Seperti diketahui bahwa pakaian yang diutamakan oleh syariat islam adalah yang menutup aurat atau termasuk bagian aurat. Karenanya maka pakaian adat dari lembaga keagamaan berbetuk jubah. Kalau pakaia hari-hari Jum’at diwajibkan memakai pakaian putih-putih yaitu serban dan jubah serba putih. Pakaian semacam itu cenderung pada pakaian Arab (islam). Hal tersebut diharuskan, karena anggapan bahwa mengikuti atau meneladani pakaian Rasulullah Muhammad adalah sangat afdal. Demikian pula pada pejabat-pejabat adat diharuskan memakai serban pada hari Jum’at karena merekalah yang dipandang ulil amri (pemerintah). Mengutamakan menutup aurat serta menganggap suci pada setiap pakaian putih yang mengandug fungsi religius.
4. Fungsi sosial
Penentuan bentuk dan warna pakaian adat untuk tiap tingkat kemasyarakatan pemakai, adalah suatu identitas yang telah dibakukan oleh masyarakat Tolaki. Misalnya pakaian pejabat, adapula pakaian pejabat keagamaan. Ada bentuk pakaian golongan atas dan ada pula untuk golongan tengah dan lain-lain. Ada warna dan bentuk pakaian penghulu adat dan adapula untuk penguasa. Dengan ketentuan-ketentuan itu menunjukan kedudukan sosial kemasyarakatan warga pemakai pakaian adat tradisional. Lebih kompleks lagi pakaian putih-putih dikalangan pejabat.
5. Fungsi simbolik
Pada pakaian adat upacara pernikahan yang mengenakan pakaian adat raja atau bangsawan adalah suatu simbol idaman orang tua dan keluarga kiranya rumah tangga baru itu akan tumbuh menjadi rumah tangga sejahtera dan bahagia. Pengantin disimbolkan sebagai raja sehari.
Sumber bacaan:
Husein A. Chalik, dkk. (1991/1992). Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Mananamkan nilai-nilai Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara-Edisi II. Kendari: Bagian Proyek Inventarisasi dan Pemebinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Tenggara
Pemahaman nilai budaya yang dipesankan itu biasanya lahir melalui simbol-simbol dari berbagai ragam hias pakaian adat tradisional dari suatu masyarakat. Misalnya saja masyarakat suku Tolaki yang telah terhimpun dalam masyarakat kerajaan konawe dan mekongga, sudah tentu pakaian adat tradisional sejak saat itu mengandung fungsi religius di samping fungsi-fungsi lainnya. Bahkan secara keseluruhan masyarakat sulawesi tenggara menerima pengaruh dari berbagai kebudayaan luar. Baik dari luar daerah maupun dari luar negeri. Dari arti simbolik yang dikandung oleh pakaian adat tradisional sekaligus mengungkapkan bahwa warna, bentuk dan letak serta cara pemakaian pakaian adat itu mengandung fungsi-fungsi etika, estetika, religius, sosial dan simbolis.
Pada umumnya pakaian adat tradisional itu tidak saja berfungsi tunggal bahkan biasanya berfungsi jamak. Terutama pada pakaian adat upacara, terkandung berbagai fungsi praktis sekalipun. Fungsi praktis akhir-akhir ini semakin menonjol dikalangan masyarakat, mungkin akibat modernisasi disegala bidang kehidupan masyarakat. Walaupun demikian fungsi-fungsi lainnya tidak berarti akan segera punah, bahkan dari kenyataan yang ada dikemukakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Fungsi etik
Pakaian adat mempunyai ketentuan-ketentuan pemakaiannya. Misalnya macam pakaian yang boleh dipakai oleh para pejabat, bukan pejabat, yang bangsawan dan rakyat biasa. Pemakaian pakaian adat merupakan salah kode etik, adalah tidak sopan seseorang bilamana memakai pakaian adat yang bukan atau tidak sesuai dengan bentuk atau warna yang boleh dipakainya. Demikian pula mengenakan tidak sesuai ketentuan. Misalnya memiringkan songkok, menyelempangkan sarung dan menghadapkan hulu keris ke perut sendiri, atau berpakaian adat dengan kepala terbuka. Pemakaian pakaian adat sesuai tatakrama penggunaannya dipandang baik dan sopan.
Pada orang Tolaki berpakaian adat dirumah walaupun sederhana asalkan bersih dan menutup aurat menunjukan fungsi etik. Apalagi bersepatu atau beralas kaki di dalam rumah adalah dianggap tidak sopan. Baju wanita orang Tolaki yang disebut Babu mbineboto (tidak terbelah) dengan lengan panjang menunjukan fungsi etik. Ada pula pandangan seseorang pri tidak memakai tutup kepala dianggap kafir. Jadi pada dasarnya pakaian adat tradisional mengandung fungsi etik.
2. Fungsi estetik
Keindahan pakaian adat, baik oleh bentuknya maupun warna dan hiasan-hiasannya sangat menjadi perhatian sejak dahulu. Ditambah dengan pemakai alat perhiasan yang beraneka bentuk dan warna adalah untuk menciptakan keindahan yang sedap dipandang mata. Apalagi dengan perhiasan terbuat dari emas dan perak bagi kaum wanita atau kopiah berhias bagi kaum pria, salah satu fungsi utamanya untuk menambah rasa keindahan baik oleh pemakai maupun yang memandangnya. Demikian halnya dengan penggunaan ikat pinggang dari logam dikalangan wanita remaja, lebih menonjolkan fungsi estetik dari fungsi lainnya.
3. Fungsi religius
Konseptor pembuat pakaian pada abad ke-17 adalah bertolak dari konsep keagamaan. Seperti diketahui bahwa pakaian yang diutamakan oleh syariat islam adalah yang menutup aurat atau termasuk bagian aurat. Karenanya maka pakaian adat dari lembaga keagamaan berbetuk jubah. Kalau pakaia hari-hari Jum’at diwajibkan memakai pakaian putih-putih yaitu serban dan jubah serba putih. Pakaian semacam itu cenderung pada pakaian Arab (islam). Hal tersebut diharuskan, karena anggapan bahwa mengikuti atau meneladani pakaian Rasulullah Muhammad adalah sangat afdal. Demikian pula pada pejabat-pejabat adat diharuskan memakai serban pada hari Jum’at karena merekalah yang dipandang ulil amri (pemerintah). Mengutamakan menutup aurat serta menganggap suci pada setiap pakaian putih yang mengandug fungsi religius.
4. Fungsi sosial
Penentuan bentuk dan warna pakaian adat untuk tiap tingkat kemasyarakatan pemakai, adalah suatu identitas yang telah dibakukan oleh masyarakat Tolaki. Misalnya pakaian pejabat, adapula pakaian pejabat keagamaan. Ada bentuk pakaian golongan atas dan ada pula untuk golongan tengah dan lain-lain. Ada warna dan bentuk pakaian penghulu adat dan adapula untuk penguasa. Dengan ketentuan-ketentuan itu menunjukan kedudukan sosial kemasyarakatan warga pemakai pakaian adat tradisional. Lebih kompleks lagi pakaian putih-putih dikalangan pejabat.
5. Fungsi simbolik
Pada pakaian adat upacara pernikahan yang mengenakan pakaian adat raja atau bangsawan adalah suatu simbol idaman orang tua dan keluarga kiranya rumah tangga baru itu akan tumbuh menjadi rumah tangga sejahtera dan bahagia. Pengantin disimbolkan sebagai raja sehari.
Sumber bacaan:
Husein A. Chalik, dkk. (1991/1992). Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Mananamkan nilai-nilai Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara-Edisi II. Kendari: Bagian Proyek Inventarisasi dan Pemebinaan Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Tenggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar